Posted on Leave a comment

IDI: Bullying sudah berkurang 80%

IDI: Bullying sudah berkurang 80%

Topik mengenai perundungan di lingkup pendidikan dokter spesialis sebetulnya bukan barang baru.

Pada awal tahun ini, Kementerian Kesehatan melakukan kunjungi skrining kesejahatan jiwa yang melibatkan 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pendidikan di Indonesia pada 21, 22, dan 24 Maret.

RS vertikal adalah rumah sakit yang berada di bawah pengelolaan Kemenkes.

Hasilnya, 22,4% atau 2.716 peserta PPDS tercatat mengalami gejala depresi. Sebesar 1,5% atau 178 orang mengalami depresi sedang-berat, sedangkan 0,6% atau 75 orang terkena depresi berat.

Kepala biro komunikasi dan pelayanan publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, bilang pihaknya telah mengindentifikasi penyebab stres yang dialami para calon dokter spesialis ini – meski perlu didalami lebih lanjut.

Beberapa penyebabnya seperti beban pendidikan seperti tuntutan menyelesaikan karya ilmiah dan membaca jurnal, beban pelayanan seperti kewajiban jaga malam, beban ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan keluarga, serta masih adanya perundungan.

Pada periode Juli-Desember 2023, Kemenkes juga menerima 216 aduan terkait dugaan perundungan di lingkungan rumah sakit.

Sebanyak 109 di antaranya dilaporkan terjadi di RS vertikal, sementara 107 lainnya di RSUD, fakultas kedokteran universitas, RS universitas, dan lainnya.

BBC News Indonesia juga pernah menulis pengalaman para calon dokter spesialis yang dirundung oleh seniornya dengan meminta hal-hal di luar urusan pendidikan.

Seperti mengumpulkan uang belasan juta untuk “mentraktir seluruh senior”, membelikan makanan, tiket pesawat, hingga timbangan kopi.

Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto, tak menampik “masih adanya bullying meskipun klaimnya sudah berkurang 80%”.

Tapi ‘perundungan’ yang berlangsung sekarang, katanya, lebih ditujukan untuk mendisiplinkan para calon dokter agar tepat waktu.

“Zaman dulu mungkin banyak, sekarang sudah berkurang 80-90%, jadi kalau masih ada [perundungan] pasti masih ada… namanya manusia. Tapi sudah sangat minimal,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia, Kamis (15/08).

Namun lebih dari pada itu, dia menilai yang menjadi penyebab stres hingga depresi para PPDS ini adalah jam kerja yang sangat panjang di rumah sakit residen.

Beberapa rumah sakit vertikal milik Kemenkes, sebutnya, tidak memiliki aturan soal lama jam kerja PPDS sehingga sering kali lebih dari 24 jam.

Padahal idealnya mereka bekerja maksimal 8 sampai 10 jam per hari atau 40 hingga 50 jam per minggu.

“Rumah sakit vertikal untuk pendidikan dokter spesialis harusnya tidak boleh lebih dari 10 jam per hari, itu salah satu cara yang bisa dilakukan Kemenkes membuat aturan itu. Tapi kan belum,” tuturnya.

“Kalau kerja di atas 10 jam, akan terjadi kelelahan, orang sehat jadi sakit. Satpam aja kalau jaga malam, paginya libur.”

‘Jangan menutup-nutupi masalah’
Pengamat kesehatan dari Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, mengatakan apa yang melatari kematian calon dokter spesialis Aulia Risma Lestari, kini menjadi “bola liar” lantaran tak ada diagnosis medis terkait kondisi kesehatan mental korban.

Sehingga masing-masing pihak yakni Universitas Diponegoro (Undip) dan Kemenkes saling melempar klaim soal penyebab kematiannya.

Undip menyatakan meninggalnya korban disebabkan oleh masalah kesehatan dan membantah ada unsur perundungan. Sedangkan Kemenkes meyakini korban bunuh diri akibat dugaan perundungan.

Di tengah situasi yang disebutnya “kompleks” ini, Diah menilai kesimpulan Undip terlalu cepat. Padahal penyelidikan polisi belum rampung, dan Kemenkes masih melakukan investigasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *